Emile
Durkheim (1858-1917), pelopor ilmu Sosiologi dari Prancis, dalam bukunya Suicide et Natalite, Etude de Statistique
Morale menjelaskan bahwa distribusi bunuh diri di dalam negara-negara Eropa
Barat, memperlihatkan suatu pola hubungan yang erat antara angka–angka bunuh
diri dengan penggolongan berdasarkan agama (Giddens, 1986:103). Negara yang
kebanyakan penduduknya menganut agama Katholik memiliki angka bunuh diri yang
lebih rendah dibandingkan negara yang mayoritas penduduknya menganut agama
Protestan. Penjelasan dari pernyataan tersebut bukan pada dogma atau paham agama tersebut, tetapi lebih pada
perbedaan-perbedaan dalam organisasi sosial kedua agama tersebut. Agama
Katholik memiliki hirarki kependetaan yang kekuasaannya mengikat dalam dogma
ajaran agama. Berbeda dengan Protestan yang berdiri sendiri tanpa hirarki
kependetaan.
Penjelasan
tersebut membuktikan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara kasus
bunuh diri dengan organisasi sosial yang dimiliki suatu agama. Apabila dalam
organisasi sosial suatu agama terjadi pergolakan-pergolakan, hal ini akan
berpengaruh pada sikap dan mental pemeluknya. Implikasinya adalah pengutukan
pemeluk agama terhadap bunuh diri yang menurun. Sehingga, kasus bunuh diri pada
pemeluk agama yang taat pun bisa meningkat. Hal ini seperti yang dituliskan
Durkheim dalam bukunya, sudah dapat dipastikan bahwa meningkatnya secara
konsisten jumlah kejadian bunuh diri selalu mempunyai kaitan dengan terjadinya
pergolakan serius di dalam kondisi-kondisi organik suatu masyarakat (Giddens,
1986:102).
Dalam
pandangan masyarakat Jawa, hidup adalah keseluruhan yang teratur dan tersusun
yang harus diterima orang, dan terhadap keseluruhan itu orang harus
menyesuaikan dirinya (Mulder, 1999: 54). Oleh karena itu, orang harus hidup
selaras dengan tatanan yang ada dan mempunyai kewajiban untuk menghargai
tatanan hidup. Sehingga, perspektif Jawa menuturkan bahwa manusia harus
mengembangkan sikap hidup nrimo
(menerima) apa pun yang terjadi untuk mengembangkan kedamaian.
Perspektif
hidup nrimo ini juga tercermin pada
kepasrahan masyarakat Jawa dalam menerima kematian. Geertz (1989:99-100) bahkan
mengungkapkan bahwa kematian agaknya tidak menimbulkan ketakutan yang
berlebihan pada kebanyakan orang Jawa, dan orang berbicara tentang itu secara terang-terangan
tanpa menunjukkan kecemasan sedikit pun.
Di
Indonesia, angka kematian yang disebabkan oleh bunuh diri terbilang tinggi.
Pada tahun 2005, organisasi kesehatan dunia (WHO) memberikan data bahwa
sedikitnya 50.000 orang Indonsia bunuh diri setiap tahunnya (vivanews, 2 Desember 2009). Dari sekian
banyak kasus bunuh diri di Indonesia, peringkat tertinggi kasus bunuh diri
terdapat di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepanjang tahun
2010, Kepolisian Gunungkidul mencatat terdapat 28 kasus bunuh diri di
daerahnya. Dari sekian banyak kasus tersebut, umumnya korban memilih mengakhiri
hidupnya dengan gantung diri (Kedaulatan
Rakyat, 13 Desember 2010).
Darmaningtyas
(2002:416), berpendapat bahwa tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul tersebut
tidak terlepas dari kepasrahan orang Gunungkidul terhadap kematian, seperti
orang Jawa pada umumnya. Namun, dalam bukunya Darmaningtyas juga mengungkapkan
bahwa tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul disebabkan ketidakmampuan
masyarakat melepaskan diri dari kerentanan. Berdasar hasil studi kasus, pelaku
bunuh diri mayoritas berasal dari kelompok masyarakat yang rentan, baik dari
aspek ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, usia, serta letak geografis
(2002:448).
Ada
sebuah wacana menarik apabila kita menyoroti fenomena bunuh diri di
Gunungkidul. Yaitu, adanya mitos Pulung
Gantung. Pulung, secara harafiah
diartikan sebagai anugrah, wahyu. Secara singkatnya, pulung gantung dapat diartikan sebagai tindakan bunuh diri dengan
cara menggantung diri yang didekte oleh kekuatan alam (Wahono dalam Darmaningtyas, 2002:ix).
Salah
satu daerah di Gunungkidul dengan kasus bunuh diri tinggi adalah Kecamatan
Tepus. Selain itu, masyarakat pun masih mempercayai mitos pulung gantung. Pada bulan Maret hingga Desember 2010, terjadi lima
kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus (TribunJogja,
12 Januari 2011). Hal ini didukung dengan data Polres Gunungkidul sebagai fakta
masa lalu. Dalam kurun waktu dua tahun, yaitu 1999 dan 2000 terdapat 11 kasus
bunuh diri. Angka ini merupakan angka tertinggi.
Di
konteks yang lain, peran lembaga keagamaan dirasa belum maksimal. Memang benar
telah terjadi proses penyuluhan, baik yang dilakukan lembaga pemerintah, maupun
beberapa ulama, tetapi proses yag dilakukan masih bersifat normatif. Artinya,
belum melakukan proses kreatif berbasis pada pendekatan etnografis, sehingga peran
yang disampaikan belum tertransformasi secara maksimal. Di level inilah,
mestinya lembaga keagamaan ikut berpartisipasi secara maksimal. Mengingat,
persoalan pulung gantung lebih pada
persoalan spiritual masyarakat. Dalam hal ini, rekonseptualisasi dan restrukturisasi
lembaga keagamaan memiliki relevansinya. Kondisi ini tentu relevan dengan
pernyataan Hendropuspito bahwa katerlibatan organisasi sosial agama sangat
diperlukan mengingat salah satu fungsinya adalah membantu para pemimpin dalam
mengatasi masalah-masalah sosio-relegius yang tidak kalah beratnya dengan
masalah-masalah sosial non keagamaan (1990:11). [YL]
Referensi:
Referensi:
Darmaningtyas.
2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi
Bunuh Diri di Gunung Kidul. Yogyakarta: Salwa Press.
Geertz,
Clifford. 1989. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Giddens,
Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori
Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber.
Jakarta: UI Press.
Yogyakarta:Kanisius.
Mulder,
Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan
Perubahan Budaya: Jawa, Muangthai dan Filipina. Jakarta: Gramedia.
Surat Kabar dan
Media Online
Kedaulatan
Rakyat, 13 Desember 2010
Tribun
Jogja, 12 Januari 2011
Vivanews,
2 Desember 2009
*Tulisan ini awalnya saya buat untuk menjadi latar belakang sebuah lomba proposal penilitian yang diadakan salah satu instansi pemerintah. Tapi, karena proposal itu gagal jadi tulisan ini saya posting di sini.. Sedikit melebar dari topik, memang. Tapi tak apalah, toh membicarakan Gunungkidul tak lengkap rasanya jika belum berbicara tentang fenomena Pulung Gantung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar