Minggu, 11 Desember 2011

Selayang Pandang Desa Purwodadi


Secara administratif, Pantai Timang dan Pantai Ngetun terletak di Desa Purwodadi, salah satu desa yang berada di Kecamatan Tepus. Kecamatan Tepus sendiri merupakan salah satu kecamatan dari 18 kecamatan di Gunungkidul. Letaknya kurang lebih 22 km dari Kota Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul. Di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Tanjungsari, di sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Girisubo, di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kecamatan Wonosari, sedangkan di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera India. Dengan luas keseluruhan 104,91 km2, Kecamatan Tepus terdiri dari lima desa, yakni Sidoharjo, Tepus, Purwodadi, Giripanggung dan Sumberwungu.
Desa Purwodadi merupakan desa yang terletak paling timur sekaligus merupakan desa yang jaraknya paling jauh dari ibukota kecamatan. Secara geografis, Desa Purwodadi merupakan daerah pantai dengan kondisi topografi yang berbukit-bukit. Oleh karena itu, di Desa Purwodadi terdapat beberapa obyek wisata pantai, seperti Siung, Njogan, Timang dan Ngetun. 
Gapura di depan Balai Desa Purwodi


Meskipun merupakan daerah pantai, namun sebagian besar penduduk Desa Purwodadi menggantungkan hidupnya dari pertanian. Komoditas pertanian desa ini adalah ketela pohon/singkong, padi ladang/padi gogo serta jagung dan kacang tanah. Singkong merupakan komoditas utama dalam aktifitas pertanian masyarakat. Masa tanam singkong biasanya mencapai 5-8 bulan. Setelah panen, singkong tersebut akan  dikupas dan dikeringkan untuk dibuat menjadi gaplek. Gaplek tersebut sebagian diolah menjadi tiwul untuk dijadikan makanan pengganti nasi. Selebihnya gaplek tersebut akan dijual kepada tengkulak atau pedagang besar yang ada di pasar. Tiap kilo gaplek biasanya dihargai 500 sampai 1.500 rupiah. :( *sungguh tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan masyarakat.

Seperti umumnya daerah yang berada di pegunungan karst, Desa Purwodadi juga merupakan desa yang mengalami kesulitan air. Guna memenuhi kebutuhan air untuk aktifitas sehari-hari serta pengairan, warga masih mengandalkan sistem tadah hujan.  Saat kemarau tiba dan persediaan air di bak penampungan mulai menipis, warga pun membeli air yang diambil dari sumber mata air terdekat. Harga air yang harus dibeli warga tersebut berkisar 60.000 hingga 100.000 rupiah tiap 5000 liter. Harga air tersebut tergantung dari jauh/dekat jarak rumah pembeli dengan sumber mata air. 
Kondisi tersebut jelas kurang menguntungkan bagi masyarakat. Meskipun akses jalan menuju Desa Purwodadi sudah sangat baik, namun berbagai problem sosial masih menjadi PR bagi pemerintah. Minimnya fasilitas pendidikan serta kemiskinan yang menimpa sebagian besar masyarakat membuat kasus putus sekolah di desa ini tinggi. Banyak anak muda yang memilih merantau ke kota selepas menamatkan pendidikan dasar mereka, meskipun hanya menjadi buruh serabutan atau pekerja rumah tangga. Selain itu, kasus pernikahan dini juga menjadi problem sosial di desa ini. Pernikahan usia dini ini merupakan dampak dari rendahnya pendidikan yang kemudian akan berdampak pada kesehatan masyarakat itu sendiri.
Lahan pertanian warga Purwodadi pada musim kemarau
  

Sabtu, 10 Desember 2011

1, 2, 3, tentang Bunuh Diri


Emile Durkheim (1858-1917), pelopor ilmu Sosiologi dari Prancis, dalam bukunya Suicide et Natalite, Etude de Statistique Morale menjelaskan bahwa distribusi bunuh diri di dalam negara-negara Eropa Barat, memperlihatkan suatu pola hubungan yang erat antara angka–angka bunuh diri dengan penggolongan berdasarkan agama (Giddens, 1986:103). Negara yang kebanyakan penduduknya menganut agama Katholik memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Protestan. Penjelasan dari pernyataan tersebut bukan pada dogma atau paham agama tersebut, tetapi lebih pada perbedaan-perbedaan dalam organisasi sosial kedua agama tersebut. Agama Katholik memiliki hirarki kependetaan yang kekuasaannya mengikat dalam dogma ajaran agama. Berbeda dengan Protestan yang berdiri sendiri tanpa hirarki kependetaan.
Penjelasan tersebut membuktikan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara kasus bunuh diri dengan organisasi sosial yang dimiliki suatu agama. Apabila dalam organisasi sosial suatu agama terjadi pergolakan-pergolakan, hal ini akan berpengaruh pada sikap dan mental pemeluknya. Implikasinya adalah pengutukan pemeluk agama terhadap bunuh diri yang menurun. Sehingga, kasus bunuh diri pada pemeluk agama yang taat pun bisa meningkat. Hal ini seperti yang dituliskan Durkheim dalam bukunya, sudah dapat dipastikan bahwa meningkatnya secara konsisten jumlah kejadian bunuh diri selalu mempunyai kaitan dengan terjadinya pergolakan serius di dalam kondisi-kondisi organik suatu masyarakat (Giddens, 1986:102).
Dalam pandangan masyarakat Jawa, hidup adalah keseluruhan yang teratur dan tersusun yang harus diterima orang, dan terhadap keseluruhan itu orang harus menyesuaikan dirinya (Mulder, 1999: 54). Oleh karena itu, orang harus hidup selaras dengan tatanan yang ada dan mempunyai kewajiban untuk menghargai tatanan hidup. Sehingga, perspektif Jawa menuturkan bahwa manusia harus mengembangkan sikap hidup nrimo (menerima) apa pun yang terjadi untuk mengembangkan kedamaian.

Perspektif hidup nrimo ini juga tercermin pada kepasrahan masyarakat Jawa dalam menerima kematian. Geertz (1989:99-100) bahkan mengungkapkan bahwa kematian agaknya tidak menimbulkan ketakutan yang berlebihan pada kebanyakan orang Jawa, dan orang berbicara tentang itu secara terang-terangan tanpa menunjukkan kecemasan sedikit pun.
Di Indonesia, angka kematian yang disebabkan oleh bunuh diri terbilang tinggi. Pada tahun 2005, organisasi kesehatan dunia (WHO) memberikan data bahwa sedikitnya 50.000 orang Indonsia bunuh diri setiap tahunnya (vivanews, 2 Desember 2009). Dari sekian banyak kasus bunuh diri di Indonesia, peringkat tertinggi kasus bunuh diri terdapat di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepanjang tahun 2010, Kepolisian Gunungkidul mencatat terdapat 28 kasus bunuh diri di daerahnya. Dari sekian banyak kasus tersebut, umumnya korban memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri (Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 2010).
Darmaningtyas (2002:416), berpendapat bahwa tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul tersebut tidak terlepas dari kepasrahan orang Gunungkidul terhadap kematian, seperti orang Jawa pada umumnya. Namun, dalam bukunya Darmaningtyas juga mengungkapkan bahwa tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul disebabkan ketidakmampuan masyarakat melepaskan diri dari kerentanan. Berdasar hasil studi kasus, pelaku bunuh diri mayoritas berasal dari kelompok masyarakat yang rentan, baik dari aspek ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, usia, serta letak geografis (2002:448).
Ada sebuah wacana menarik apabila kita menyoroti fenomena bunuh diri di Gunungkidul. Yaitu, adanya mitos Pulung Gantung. Pulung, secara harafiah diartikan sebagai anugrah, wahyu. Secara singkatnya, pulung gantung dapat diartikan sebagai tindakan bunuh diri dengan cara menggantung diri yang didekte oleh kekuatan alam (Wahono dalam Darmaningtyas, 2002:ix).
Salah satu daerah di Gunungkidul dengan kasus bunuh diri tinggi adalah Kecamatan Tepus. Selain itu, masyarakat pun masih mempercayai mitos pulung gantung. Pada bulan Maret hingga Desember 2010, terjadi lima kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus (TribunJogja, 12 Januari 2011). Hal ini didukung dengan data Polres Gunungkidul sebagai fakta masa lalu. Dalam kurun waktu dua tahun, yaitu 1999 dan 2000 terdapat 11 kasus bunuh diri. Angka ini merupakan angka tertinggi.
Di konteks yang lain, peran lembaga keagamaan dirasa belum maksimal. Memang benar telah terjadi proses penyuluhan, baik yang dilakukan lembaga pemerintah, maupun beberapa ulama, tetapi proses yag dilakukan masih bersifat normatif. Artinya, belum melakukan proses kreatif berbasis pada pendekatan etnografis, sehingga peran yang disampaikan belum tertransformasi secara maksimal. Di level inilah, mestinya lembaga keagamaan ikut berpartisipasi secara maksimal. Mengingat, persoalan pulung gantung lebih pada persoalan spiritual masyarakat. Dalam hal ini, rekonseptualisasi dan restrukturisasi lembaga keagamaan memiliki relevansinya. Kondisi ini tentu relevan dengan pernyataan Hendropuspito bahwa katerlibatan organisasi sosial agama sangat diperlukan mengingat salah satu fungsinya adalah membantu para pemimpin dalam mengatasi masalah-masalah sosio-relegius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan (1990:11). [YL]
Referensi:

Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul.   Yogyakarta: Salwa Press. 


Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. 

Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Jakarta: UI Press.
Hendropuspito, Drs. D. 1990. Sosiologi Agama. 
   Yogyakarta:Kanisius.
Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya: Jawa, Muangthai dan Filipina. Jakarta: Gramedia.
Surat Kabar dan Media Online
Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 2010
Tribun Jogja, 12 Januari 2011
Vivanews, 2 Desember 2009


*Tulisan ini awalnya saya buat untuk menjadi latar belakang sebuah lomba proposal penilitian yang diadakan salah satu instansi pemerintah. Tapi, karena proposal itu gagal jadi tulisan ini saya posting di sini.. Sedikit melebar dari topik, memang. Tapi tak apalah, toh membicarakan Gunungkidul tak lengkap rasanya jika belum berbicara tentang fenomena Pulung Gantung.