Senin, 05 Maret 2012

1. Pantai Siung

pantai siung merupakan pantai yang paling banyak dikenal orang yang terdapat di Tepus. pantai eksotis ini memiliki dinding-dinding batu yang sangat menantang untuk ditaklukkan, tentu saja melalui kegiatan panjat tebing. lokasi panjat disini sudah bertaraf internasional dan sering dijadikan lokasi untuk kejuaraan panjat baik itu nasional dan internasional. karena memiliki banyak jenis dan lokasi, sangat cocok untuk semua orang, baik itu yang masih pemula ataupun yang sudah mahir. apabila tidak suka panjat, pantai ini juga menyuguhkan pemandangan eksotis yang sayang untuk dilewatkan. selain pemandangan alamnya, sunset di sore harinya pun tidak kalah anggun dengan putri keraton (lebay dikit).
sunset yang anggun, menyembul dari balik bukit batu.




sekedar berjalan-jalan menyusuri pasir putih pantai siung juga mengasyikkan.
pantai ini juga merupakan penghasil rumput laut. penduduk lokal menyebutnya dengan karangan.

Poto diatas merupakan karangan yang dijemur. dapat ditemui pada bulan agustus-september.

untuk menuju ke Pantai Siung, sangat mudah. banyak terdapat petunjuk jalan menuju kesana. dan juga, jalan yang sudah di aspal halus, semakin memudahkan jalan menuju ke sana. (ta)

tujuh pantai yang harus di kunjungi di Tepus

Tepus memang memiliki banyak pantai-pantai yang indah dan eksotis. namun, penulis menyarankan tujuh pantai yang ada di Tepus, yang menanti kunjungan anda. Tujuh pantai ini memiliki makna masing-masing yang tentu saja berbeda ceritanya. Tujuh pantai tersebut adalah.
1. Pantai Siung
2. Pantai Nglambor
3. Pantai Njogan
4. Pantai Menyer
5. Pantai Timang
6. Pantai Ngetun
7. Pantai Sundak

Minggu, 11 Desember 2011

Selayang Pandang Desa Purwodadi


Secara administratif, Pantai Timang dan Pantai Ngetun terletak di Desa Purwodadi, salah satu desa yang berada di Kecamatan Tepus. Kecamatan Tepus sendiri merupakan salah satu kecamatan dari 18 kecamatan di Gunungkidul. Letaknya kurang lebih 22 km dari Kota Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul. Di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Tanjungsari, di sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Girisubo, di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kecamatan Wonosari, sedangkan di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera India. Dengan luas keseluruhan 104,91 km2, Kecamatan Tepus terdiri dari lima desa, yakni Sidoharjo, Tepus, Purwodadi, Giripanggung dan Sumberwungu.
Desa Purwodadi merupakan desa yang terletak paling timur sekaligus merupakan desa yang jaraknya paling jauh dari ibukota kecamatan. Secara geografis, Desa Purwodadi merupakan daerah pantai dengan kondisi topografi yang berbukit-bukit. Oleh karena itu, di Desa Purwodadi terdapat beberapa obyek wisata pantai, seperti Siung, Njogan, Timang dan Ngetun. 
Gapura di depan Balai Desa Purwodi


Meskipun merupakan daerah pantai, namun sebagian besar penduduk Desa Purwodadi menggantungkan hidupnya dari pertanian. Komoditas pertanian desa ini adalah ketela pohon/singkong, padi ladang/padi gogo serta jagung dan kacang tanah. Singkong merupakan komoditas utama dalam aktifitas pertanian masyarakat. Masa tanam singkong biasanya mencapai 5-8 bulan. Setelah panen, singkong tersebut akan  dikupas dan dikeringkan untuk dibuat menjadi gaplek. Gaplek tersebut sebagian diolah menjadi tiwul untuk dijadikan makanan pengganti nasi. Selebihnya gaplek tersebut akan dijual kepada tengkulak atau pedagang besar yang ada di pasar. Tiap kilo gaplek biasanya dihargai 500 sampai 1.500 rupiah. :( *sungguh tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan masyarakat.

Seperti umumnya daerah yang berada di pegunungan karst, Desa Purwodadi juga merupakan desa yang mengalami kesulitan air. Guna memenuhi kebutuhan air untuk aktifitas sehari-hari serta pengairan, warga masih mengandalkan sistem tadah hujan.  Saat kemarau tiba dan persediaan air di bak penampungan mulai menipis, warga pun membeli air yang diambil dari sumber mata air terdekat. Harga air yang harus dibeli warga tersebut berkisar 60.000 hingga 100.000 rupiah tiap 5000 liter. Harga air tersebut tergantung dari jauh/dekat jarak rumah pembeli dengan sumber mata air. 
Kondisi tersebut jelas kurang menguntungkan bagi masyarakat. Meskipun akses jalan menuju Desa Purwodadi sudah sangat baik, namun berbagai problem sosial masih menjadi PR bagi pemerintah. Minimnya fasilitas pendidikan serta kemiskinan yang menimpa sebagian besar masyarakat membuat kasus putus sekolah di desa ini tinggi. Banyak anak muda yang memilih merantau ke kota selepas menamatkan pendidikan dasar mereka, meskipun hanya menjadi buruh serabutan atau pekerja rumah tangga. Selain itu, kasus pernikahan dini juga menjadi problem sosial di desa ini. Pernikahan usia dini ini merupakan dampak dari rendahnya pendidikan yang kemudian akan berdampak pada kesehatan masyarakat itu sendiri.
Lahan pertanian warga Purwodadi pada musim kemarau
  

Sabtu, 10 Desember 2011

1, 2, 3, tentang Bunuh Diri


Emile Durkheim (1858-1917), pelopor ilmu Sosiologi dari Prancis, dalam bukunya Suicide et Natalite, Etude de Statistique Morale menjelaskan bahwa distribusi bunuh diri di dalam negara-negara Eropa Barat, memperlihatkan suatu pola hubungan yang erat antara angka–angka bunuh diri dengan penggolongan berdasarkan agama (Giddens, 1986:103). Negara yang kebanyakan penduduknya menganut agama Katholik memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Protestan. Penjelasan dari pernyataan tersebut bukan pada dogma atau paham agama tersebut, tetapi lebih pada perbedaan-perbedaan dalam organisasi sosial kedua agama tersebut. Agama Katholik memiliki hirarki kependetaan yang kekuasaannya mengikat dalam dogma ajaran agama. Berbeda dengan Protestan yang berdiri sendiri tanpa hirarki kependetaan.
Penjelasan tersebut membuktikan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara kasus bunuh diri dengan organisasi sosial yang dimiliki suatu agama. Apabila dalam organisasi sosial suatu agama terjadi pergolakan-pergolakan, hal ini akan berpengaruh pada sikap dan mental pemeluknya. Implikasinya adalah pengutukan pemeluk agama terhadap bunuh diri yang menurun. Sehingga, kasus bunuh diri pada pemeluk agama yang taat pun bisa meningkat. Hal ini seperti yang dituliskan Durkheim dalam bukunya, sudah dapat dipastikan bahwa meningkatnya secara konsisten jumlah kejadian bunuh diri selalu mempunyai kaitan dengan terjadinya pergolakan serius di dalam kondisi-kondisi organik suatu masyarakat (Giddens, 1986:102).
Dalam pandangan masyarakat Jawa, hidup adalah keseluruhan yang teratur dan tersusun yang harus diterima orang, dan terhadap keseluruhan itu orang harus menyesuaikan dirinya (Mulder, 1999: 54). Oleh karena itu, orang harus hidup selaras dengan tatanan yang ada dan mempunyai kewajiban untuk menghargai tatanan hidup. Sehingga, perspektif Jawa menuturkan bahwa manusia harus mengembangkan sikap hidup nrimo (menerima) apa pun yang terjadi untuk mengembangkan kedamaian.

Perspektif hidup nrimo ini juga tercermin pada kepasrahan masyarakat Jawa dalam menerima kematian. Geertz (1989:99-100) bahkan mengungkapkan bahwa kematian agaknya tidak menimbulkan ketakutan yang berlebihan pada kebanyakan orang Jawa, dan orang berbicara tentang itu secara terang-terangan tanpa menunjukkan kecemasan sedikit pun.
Di Indonesia, angka kematian yang disebabkan oleh bunuh diri terbilang tinggi. Pada tahun 2005, organisasi kesehatan dunia (WHO) memberikan data bahwa sedikitnya 50.000 orang Indonsia bunuh diri setiap tahunnya (vivanews, 2 Desember 2009). Dari sekian banyak kasus bunuh diri di Indonesia, peringkat tertinggi kasus bunuh diri terdapat di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepanjang tahun 2010, Kepolisian Gunungkidul mencatat terdapat 28 kasus bunuh diri di daerahnya. Dari sekian banyak kasus tersebut, umumnya korban memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri (Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 2010).
Darmaningtyas (2002:416), berpendapat bahwa tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul tersebut tidak terlepas dari kepasrahan orang Gunungkidul terhadap kematian, seperti orang Jawa pada umumnya. Namun, dalam bukunya Darmaningtyas juga mengungkapkan bahwa tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul disebabkan ketidakmampuan masyarakat melepaskan diri dari kerentanan. Berdasar hasil studi kasus, pelaku bunuh diri mayoritas berasal dari kelompok masyarakat yang rentan, baik dari aspek ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, usia, serta letak geografis (2002:448).
Ada sebuah wacana menarik apabila kita menyoroti fenomena bunuh diri di Gunungkidul. Yaitu, adanya mitos Pulung Gantung. Pulung, secara harafiah diartikan sebagai anugrah, wahyu. Secara singkatnya, pulung gantung dapat diartikan sebagai tindakan bunuh diri dengan cara menggantung diri yang didekte oleh kekuatan alam (Wahono dalam Darmaningtyas, 2002:ix).
Salah satu daerah di Gunungkidul dengan kasus bunuh diri tinggi adalah Kecamatan Tepus. Selain itu, masyarakat pun masih mempercayai mitos pulung gantung. Pada bulan Maret hingga Desember 2010, terjadi lima kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus (TribunJogja, 12 Januari 2011). Hal ini didukung dengan data Polres Gunungkidul sebagai fakta masa lalu. Dalam kurun waktu dua tahun, yaitu 1999 dan 2000 terdapat 11 kasus bunuh diri. Angka ini merupakan angka tertinggi.
Di konteks yang lain, peran lembaga keagamaan dirasa belum maksimal. Memang benar telah terjadi proses penyuluhan, baik yang dilakukan lembaga pemerintah, maupun beberapa ulama, tetapi proses yag dilakukan masih bersifat normatif. Artinya, belum melakukan proses kreatif berbasis pada pendekatan etnografis, sehingga peran yang disampaikan belum tertransformasi secara maksimal. Di level inilah, mestinya lembaga keagamaan ikut berpartisipasi secara maksimal. Mengingat, persoalan pulung gantung lebih pada persoalan spiritual masyarakat. Dalam hal ini, rekonseptualisasi dan restrukturisasi lembaga keagamaan memiliki relevansinya. Kondisi ini tentu relevan dengan pernyataan Hendropuspito bahwa katerlibatan organisasi sosial agama sangat diperlukan mengingat salah satu fungsinya adalah membantu para pemimpin dalam mengatasi masalah-masalah sosio-relegius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan (1990:11). [YL]
Referensi:

Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul.   Yogyakarta: Salwa Press. 


Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. 

Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Jakarta: UI Press.
Hendropuspito, Drs. D. 1990. Sosiologi Agama. 
   Yogyakarta:Kanisius.
Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya: Jawa, Muangthai dan Filipina. Jakarta: Gramedia.
Surat Kabar dan Media Online
Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 2010
Tribun Jogja, 12 Januari 2011
Vivanews, 2 Desember 2009


*Tulisan ini awalnya saya buat untuk menjadi latar belakang sebuah lomba proposal penilitian yang diadakan salah satu instansi pemerintah. Tapi, karena proposal itu gagal jadi tulisan ini saya posting di sini.. Sedikit melebar dari topik, memang. Tapi tak apalah, toh membicarakan Gunungkidul tak lengkap rasanya jika belum berbicara tentang fenomena Pulung Gantung.

Minggu, 31 Juli 2011

Sebuah Perjalanan Awal..

Setelah vakum cukup lama, saya kembali berniat untuk mengisi ruang kosong di blog ini.. Cerita ini, meskipun sudah lama berlalu, menjadi sebuah kisah yang menarik untuk terus diceritakan, juga dituliskan.. Terlebih lagi jika ingat Scripta Manent -Tulisan Tak Akan Pernah Mati-       
        Dua hari sesudah Natal, dua puluh satu bulan yang lalu. Tepatnya 27 Desember 2009. Adzan subuh berkumandang dari mushola dekat rumahku. Tidak seperti biasanya, hari itu aku harus segera mandi, sarapan dan memulai petualangan bersama Citra, Ninggar dan Hestya. Awalnya kami bersepakat untuk tidak mandi, tapi sepertinya tidak ada yang memenuhi kesepakatan itu (hahaahaha ^^,).
       Aku lupa jam berapa tepatnya rombongan kami berangkat dari warung Hestya yang dijadikan posko ngumpul. Seingatku keberangkatan kami diiringi pesan dari bapak Hestya, "hati-hati lho, jalannya licin. Kemarin ada truk pengangkut minyak yang terguling dan minyaknya tumpah ke jalan." Meskipun agak sedikit was-was dengan tumpahan minyak itu, tapi hal tersebut tetap tidak menyurutkan semangat kami.
       Jalan Wonosari masih sepi, bahkan Alas Bunder pun masih berkabut. Berkostum kaos oblong yang dipadukan dengan celana training, kami siap untuk bertualang. Tujuan kami saat itu adalah mencari Pantai Timang yang terletak di Kabupaten Gunungkidul. Petunjuk yang kami miliki hanyalah sedikit berita dari internet yang menyebutkan bahwa Pantai timang terletak di antara Pantai Sundak dan Pantai Siung. Karena belum tahu dimana letak Pantai Siung, hal pertama yang kami lakukan adalah menuju Pantai Sundak (mlebune garatis, TPR'e wae durung buka). Selanjutnya, kami pun menyusuri sebelah timur Pantai Sundak -tentunya sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang kami lewati.
       Akhirnya kami menemukan plang petunjuk ke Pantai Siung, tapi entah masih berapa kilometer lagi. Setelah dirasa cukup jauh dan belum juga menemukan Pantai Siung atau Pantai Timang, kami pun memutuskan untuk berhenti dan istirahat sebentar di sebuah Balai Dusun yang sedang direnovasi. Di depan balai dusun tersebut terdapat tugu kecil bertuliskan Balai Dusun Cak Bohol. Di tempat tersebut ada dua orang siswa SMA yang sedang menunggu angkutan untuk berangkat sekolah. Kami pun menanyakan letak Pantai Timang kepada mereka, dan jawabannya cukup membuat kami senang. "Pantai Timang? Ini lho mbak, belok kanan," kata salah seorang dari mereka sambil menunjuk ke jalan cor blok yang ada di seberang balai.
       Kami segera menyusuri jalan cor blok tersebut. Baru beberapa ratus meter, jalan cor blok tersebut sudah berganti menjadi jalan tanah yang berbatu. Karena masih belum nampak tanda-tanda Pantai Timang, kami pun bertanya pada dua orang bapak yang sedang duduk-duduk di depan rumah. "Wah, Timang masih tebih (jauh) Mbak," kata salah seorang bapak tersebut. Namun, jawaban tersebut tetap tidak menyurutkan langkah kami.
       Selepas jalan berbatu tersebut, kami pun menemukan jalan cor block yang bercabang tiga. "Waduh, sik endi ki?" kami saling bertanya sambil kebingungan. Kami pun memilih jalan ke arah kanan, karena jalan ke kiri dan lurus menuju ke rumah-rumah warga. "Ikut insting saja," pikir kami saat itu. Ternyata jalan cor block tersebut bersambung dengan jalan tanah yang berbatu lagi. Nampaknya, kemarin sore baru turun hujan. Jalan tersebut masih becek dan licin. Motor dikendarai pelan-pelan, sambil sesekali pembonceng turun dari motor.
        Tidak berapa lama kemudian, kami sampai di sebuah perkampungan yang sederhana. Belakangan kami tahu, kampung tersebut adalah Kampung Cari, salah satu RT dari Padukuhan Danggolo. Di depan mushola, kami bertanya pada seorang bapak yang sedang duduk-duduk di teras rumah. "Pak, Pantai Timang tasih tebih mboten?" tanya kami. "O nek Timang tebih Mbak, kiro-kiro 2 kilo malih," jawab bapak tersebut. "Ah, 2 kilo, cedhak kui," kami pun saling berargumen. "Ho'o, mending mlaku wae, dalane angel," celetuk kami. Akhirnya, kami putuskan untuk berjalan kaki ke Pantai Timang, sedangkan motor kami titipkan di rumah bapak yang kami tanyai tadi. "Ngatos-atos Mbak, dalane angel," pesan bapak tadi pada kami.
        Berjalan dengan penuh semangat, bagi kami jarak dua kilo adalah hal yang mudah. Di sepanjang jalan kami pun bercanda sambil menikmati pemandangan sekeliling. Tidak lupa kami berfoto ria semi narsis. Di kanan-kiri jalan yang nampak hanya ladang dan hutan. Sesekali terdengar suara kambing dan sapi. Ternyata, warga mengandangkan kambing dan sapi mereka di ladang.
        Setelah lama berjalan kami merasakan tenggorokan kami mulai kering. Kami pun menyadari kalau sebenarnya kami sudah berjalan lebih dari dua kilometer. Namun, tetap belum nampak tanda-tanda adanya pantai. "Waduh, pantaine endi ki? Kok durung mambu-mambu pantai, padahal wis mlaku adoh," kami pun saling bertanya. Tidak berapa lama, kami melihat sebuah garis biru. "Wah, pantainya sudah kelihatan," kami pun berteriak senang. Tapi, kesenangan kami tidak berlangsung lama. Garis biru itu menghilang dan kami pun masih harus berjalan, tidak tahu untuk berapa kilo lagi. "Wah, jangan-jangan itu tadi fatamorgana," pikirku.
        Kami pun merasakan kaki mulai pegal-pegal karena harus berjalan di jalan berbatu dengan banyak tanjakan dan turunan. Nmaun, harapan untuk menemukan Pantai Timang belum surut. Akhirnya, kami melihat sebuah bukit, dan dibalik bukit itu kami melihat pantai. Di atas bukit terdapat sebuah bukit yang bisa digunakan untuk beristirahat. Kami pun semakin bersemangat untuk mendaki bukit tersebut. Sambil mendaki, kami pun menghitung-hitung jarak yang sudah kami tempuh tadi. "Ini bukan 2 kilo tapi lima kilo," kata kami. kami pun membuat kesimpulan bahwa jarak suatu tempat yang disebutkan penduduk pasti keadaan dalam kondisi sebenarnya bisa berlipat ganda. Mungkin karena mereka sudah terbiasa melewatinya, sehingga terasa dekat.
       Akhirnya, perjalanan kami tidak sia-sia. Kami sampai di Pantai Timang, pantai berkarang yang masih bersih dan hijau. Di atas bukit Timang tumbuh beberapa cemara laut yang membuat udara terasa sejuk. Kami pun duduk melepas lelah di bawah pohon cemara laut. Satu persatu bekal kami keluarkan. Namun, ternyata ada masalah baru. Persediaan air minum kami tinggal sedikit. Padahal perjalanan pulang sangat jauh dan pastinya lebih melelahkan karena ada lebih banyak tanjakan daripada saat berangkat tadi. Kami pun memutuskan untuk menghemat air dan menyimpan lagi bekal kami yang berupa wafer dan roti.
       Puas menikmati semilir angin dan melepas lelah, kami pun memutuskan untuk mendekat ke pantai. Tujuan kami saat itu menuju ke kereta gantung -atau disebut gondola oleh masyarakat sekitar- yang menghubungkan bibir pantai dengan sebuah karang besar yang ada di tengah laut. Kami harus berjalan diantara rerimbunan pandan laut supaya bisa mendekat ke gondola.
      Sampai di tempat yang dituju, sekali lagi kami dibuat kagum oleh pemandangan yang ada. Sebuah karang besar di tengah laut, jaraknya sekitar 200m dari bibir pantai. Karang tersebut sering disebut dengan Watu Pajang oleh penduduk sekitar. Untuk menuju Watu Pajang tersebut, kita bisa naik gondola. Tapi, ternyata gondola tersebut hanya merupakan sebuah kursi kayu yang sudah tua. Tali penariknya pun hanya terbuat dari tali tambang plastik yang diikatkan pada karang dan tumbuhan nanas laut. Untuk menarik gondola tersebut juga masih memanfaatkan tenaga manusia. Padahal, di bawah sana ombak yang ganas dan karang yang tajam telah menanti kita setiap saat. Dari beberapa berita internet yang kami baca, gondola ini digunakan penduduk menyeberang ke Watu Pajang untuk menangkap ikan atau lobster. Hasil tangkapan tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ah, sebuah usaha menyambung hidup yang mempertaruhkan nyawa.
       -Sepenggal cerita ini merupakan awal dari sebuah perjalanan. Perjalanan bersama sebuah keluarga besar. Perjalanan tentang petualangan, kerja keras serta persahabatan. Scripta Manent, apa yang ditulis akan mengabadi-  [YL]

Selasa, 10 Mei 2011

Pantai Ngetun

                            Pantai Ngetun dengan pasir putih yang menawan

                                       Di atas karang, menunggu ombak

                                Ngetun, pantai nan rindang

Minggu, 17 April 2011

Pantai Timang

                                 Watu Pajang dan gondola dilihat dari bukit Timang

Watu pajang, tempat yang cocok untuk memancing dan berburu lobster.. Untuk bisa sampai ke sana, kita bisa uji nyali naik gondola.. Monggo, selamat mencoba..

 Pandan laut dan rumput yang tumbuh di sekitar pantai membuat Timang berwarna hijau ^^