Minggu, 31 Juli 2011

Sebuah Perjalanan Awal..

Setelah vakum cukup lama, saya kembali berniat untuk mengisi ruang kosong di blog ini.. Cerita ini, meskipun sudah lama berlalu, menjadi sebuah kisah yang menarik untuk terus diceritakan, juga dituliskan.. Terlebih lagi jika ingat Scripta Manent -Tulisan Tak Akan Pernah Mati-       
        Dua hari sesudah Natal, dua puluh satu bulan yang lalu. Tepatnya 27 Desember 2009. Adzan subuh berkumandang dari mushola dekat rumahku. Tidak seperti biasanya, hari itu aku harus segera mandi, sarapan dan memulai petualangan bersama Citra, Ninggar dan Hestya. Awalnya kami bersepakat untuk tidak mandi, tapi sepertinya tidak ada yang memenuhi kesepakatan itu (hahaahaha ^^,).
       Aku lupa jam berapa tepatnya rombongan kami berangkat dari warung Hestya yang dijadikan posko ngumpul. Seingatku keberangkatan kami diiringi pesan dari bapak Hestya, "hati-hati lho, jalannya licin. Kemarin ada truk pengangkut minyak yang terguling dan minyaknya tumpah ke jalan." Meskipun agak sedikit was-was dengan tumpahan minyak itu, tapi hal tersebut tetap tidak menyurutkan semangat kami.
       Jalan Wonosari masih sepi, bahkan Alas Bunder pun masih berkabut. Berkostum kaos oblong yang dipadukan dengan celana training, kami siap untuk bertualang. Tujuan kami saat itu adalah mencari Pantai Timang yang terletak di Kabupaten Gunungkidul. Petunjuk yang kami miliki hanyalah sedikit berita dari internet yang menyebutkan bahwa Pantai timang terletak di antara Pantai Sundak dan Pantai Siung. Karena belum tahu dimana letak Pantai Siung, hal pertama yang kami lakukan adalah menuju Pantai Sundak (mlebune garatis, TPR'e wae durung buka). Selanjutnya, kami pun menyusuri sebelah timur Pantai Sundak -tentunya sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang kami lewati.
       Akhirnya kami menemukan plang petunjuk ke Pantai Siung, tapi entah masih berapa kilometer lagi. Setelah dirasa cukup jauh dan belum juga menemukan Pantai Siung atau Pantai Timang, kami pun memutuskan untuk berhenti dan istirahat sebentar di sebuah Balai Dusun yang sedang direnovasi. Di depan balai dusun tersebut terdapat tugu kecil bertuliskan Balai Dusun Cak Bohol. Di tempat tersebut ada dua orang siswa SMA yang sedang menunggu angkutan untuk berangkat sekolah. Kami pun menanyakan letak Pantai Timang kepada mereka, dan jawabannya cukup membuat kami senang. "Pantai Timang? Ini lho mbak, belok kanan," kata salah seorang dari mereka sambil menunjuk ke jalan cor blok yang ada di seberang balai.
       Kami segera menyusuri jalan cor blok tersebut. Baru beberapa ratus meter, jalan cor blok tersebut sudah berganti menjadi jalan tanah yang berbatu. Karena masih belum nampak tanda-tanda Pantai Timang, kami pun bertanya pada dua orang bapak yang sedang duduk-duduk di depan rumah. "Wah, Timang masih tebih (jauh) Mbak," kata salah seorang bapak tersebut. Namun, jawaban tersebut tetap tidak menyurutkan langkah kami.
       Selepas jalan berbatu tersebut, kami pun menemukan jalan cor block yang bercabang tiga. "Waduh, sik endi ki?" kami saling bertanya sambil kebingungan. Kami pun memilih jalan ke arah kanan, karena jalan ke kiri dan lurus menuju ke rumah-rumah warga. "Ikut insting saja," pikir kami saat itu. Ternyata jalan cor block tersebut bersambung dengan jalan tanah yang berbatu lagi. Nampaknya, kemarin sore baru turun hujan. Jalan tersebut masih becek dan licin. Motor dikendarai pelan-pelan, sambil sesekali pembonceng turun dari motor.
        Tidak berapa lama kemudian, kami sampai di sebuah perkampungan yang sederhana. Belakangan kami tahu, kampung tersebut adalah Kampung Cari, salah satu RT dari Padukuhan Danggolo. Di depan mushola, kami bertanya pada seorang bapak yang sedang duduk-duduk di teras rumah. "Pak, Pantai Timang tasih tebih mboten?" tanya kami. "O nek Timang tebih Mbak, kiro-kiro 2 kilo malih," jawab bapak tersebut. "Ah, 2 kilo, cedhak kui," kami pun saling berargumen. "Ho'o, mending mlaku wae, dalane angel," celetuk kami. Akhirnya, kami putuskan untuk berjalan kaki ke Pantai Timang, sedangkan motor kami titipkan di rumah bapak yang kami tanyai tadi. "Ngatos-atos Mbak, dalane angel," pesan bapak tadi pada kami.
        Berjalan dengan penuh semangat, bagi kami jarak dua kilo adalah hal yang mudah. Di sepanjang jalan kami pun bercanda sambil menikmati pemandangan sekeliling. Tidak lupa kami berfoto ria semi narsis. Di kanan-kiri jalan yang nampak hanya ladang dan hutan. Sesekali terdengar suara kambing dan sapi. Ternyata, warga mengandangkan kambing dan sapi mereka di ladang.
        Setelah lama berjalan kami merasakan tenggorokan kami mulai kering. Kami pun menyadari kalau sebenarnya kami sudah berjalan lebih dari dua kilometer. Namun, tetap belum nampak tanda-tanda adanya pantai. "Waduh, pantaine endi ki? Kok durung mambu-mambu pantai, padahal wis mlaku adoh," kami pun saling bertanya. Tidak berapa lama, kami melihat sebuah garis biru. "Wah, pantainya sudah kelihatan," kami pun berteriak senang. Tapi, kesenangan kami tidak berlangsung lama. Garis biru itu menghilang dan kami pun masih harus berjalan, tidak tahu untuk berapa kilo lagi. "Wah, jangan-jangan itu tadi fatamorgana," pikirku.
        Kami pun merasakan kaki mulai pegal-pegal karena harus berjalan di jalan berbatu dengan banyak tanjakan dan turunan. Nmaun, harapan untuk menemukan Pantai Timang belum surut. Akhirnya, kami melihat sebuah bukit, dan dibalik bukit itu kami melihat pantai. Di atas bukit terdapat sebuah bukit yang bisa digunakan untuk beristirahat. Kami pun semakin bersemangat untuk mendaki bukit tersebut. Sambil mendaki, kami pun menghitung-hitung jarak yang sudah kami tempuh tadi. "Ini bukan 2 kilo tapi lima kilo," kata kami. kami pun membuat kesimpulan bahwa jarak suatu tempat yang disebutkan penduduk pasti keadaan dalam kondisi sebenarnya bisa berlipat ganda. Mungkin karena mereka sudah terbiasa melewatinya, sehingga terasa dekat.
       Akhirnya, perjalanan kami tidak sia-sia. Kami sampai di Pantai Timang, pantai berkarang yang masih bersih dan hijau. Di atas bukit Timang tumbuh beberapa cemara laut yang membuat udara terasa sejuk. Kami pun duduk melepas lelah di bawah pohon cemara laut. Satu persatu bekal kami keluarkan. Namun, ternyata ada masalah baru. Persediaan air minum kami tinggal sedikit. Padahal perjalanan pulang sangat jauh dan pastinya lebih melelahkan karena ada lebih banyak tanjakan daripada saat berangkat tadi. Kami pun memutuskan untuk menghemat air dan menyimpan lagi bekal kami yang berupa wafer dan roti.
       Puas menikmati semilir angin dan melepas lelah, kami pun memutuskan untuk mendekat ke pantai. Tujuan kami saat itu menuju ke kereta gantung -atau disebut gondola oleh masyarakat sekitar- yang menghubungkan bibir pantai dengan sebuah karang besar yang ada di tengah laut. Kami harus berjalan diantara rerimbunan pandan laut supaya bisa mendekat ke gondola.
      Sampai di tempat yang dituju, sekali lagi kami dibuat kagum oleh pemandangan yang ada. Sebuah karang besar di tengah laut, jaraknya sekitar 200m dari bibir pantai. Karang tersebut sering disebut dengan Watu Pajang oleh penduduk sekitar. Untuk menuju Watu Pajang tersebut, kita bisa naik gondola. Tapi, ternyata gondola tersebut hanya merupakan sebuah kursi kayu yang sudah tua. Tali penariknya pun hanya terbuat dari tali tambang plastik yang diikatkan pada karang dan tumbuhan nanas laut. Untuk menarik gondola tersebut juga masih memanfaatkan tenaga manusia. Padahal, di bawah sana ombak yang ganas dan karang yang tajam telah menanti kita setiap saat. Dari beberapa berita internet yang kami baca, gondola ini digunakan penduduk menyeberang ke Watu Pajang untuk menangkap ikan atau lobster. Hasil tangkapan tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ah, sebuah usaha menyambung hidup yang mempertaruhkan nyawa.
       -Sepenggal cerita ini merupakan awal dari sebuah perjalanan. Perjalanan bersama sebuah keluarga besar. Perjalanan tentang petualangan, kerja keras serta persahabatan. Scripta Manent, apa yang ditulis akan mengabadi-  [YL]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar