Dari Dapur Bloger;
Koki dari blog ini adalah keluarga besar tim KKN PPM UGM Unit 40 'Ekspedisi Timang'.. Dua puluh mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu, pernah tinggal selama 2 bulan di Danggolo -totokiwansugito-, Luwengombo -pringlorril-, dan Sureng -dukuhepaksukat-.. Lewat blog ini kami ingin berbagi tentang keindahan alam dan keramahan masyarakat di sekitar Pantai Timang-Ngetun-
Secara administratif, Pantai Timang dan Pantai Ngetun terletak di Desa Purwodadi, salah satu desa yang berada di Kecamatan Tepus. Kecamatan Tepus sendiri merupakan salah satu kecamatan dari
18 kecamatan di Gunungkidul. Letaknya kurang lebih 22 km dari Kota Wonosari,
ibukota Kabupaten Gunungkidul. Di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kecamatan
Tanjungsari, di sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Girisubo, di sebelah
utara berbatasan langsung dengan Kecamatan Wonosari, sedangkan di sebelah selatan
berbatasan langsung dengan Samudera India. Dengan luas keseluruhan 104,91 km2,
Kecamatan Tepus terdiri dari lima desa, yakni Sidoharjo, Tepus, Purwodadi,
Giripanggung dan Sumberwungu.
Desa Purwodadi merupakan desa yang terletak paling
timur sekaligus merupakan desa yang jaraknya paling jauh dari ibukota
kecamatan. Secara geografis, Desa Purwodadi merupakan daerah pantai dengan
kondisi topografi yang berbukit-bukit. Oleh karena itu, di Desa Purwodadi
terdapat beberapa obyek wisata pantai, seperti Siung, Njogan, Timang dan Ngetun.
Gapura di depan Balai Desa Purwodi
Meskipun merupakan daerah pantai, namun sebagian
besar penduduk Desa Purwodadi menggantungkan hidupnya dari pertanian. Komoditas
pertanian desa ini adalah ketela pohon/singkong, padi ladang/padi gogo serta jagung dan kacang tanah. Singkong merupakan komoditas utama dalam aktifitas pertanian masyarakat. Masa tanam singkong biasanya mencapai 5-8 bulan. Setelah panen, singkong tersebut akan dikupas dan dikeringkan untuk dibuat menjadi gaplek. Gaplek tersebut sebagian diolah menjadi tiwul untuk dijadikan makanan pengganti nasi. Selebihnya gaplek tersebut akan dijual kepada tengkulak atau pedagang besar yang ada di pasar. Tiap kilo gaplek biasanya dihargai 500 sampai 1.500 rupiah. :( *sungguh tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan masyarakat.
Seperti umumnya daerah yang berada di pegunungan karst, Desa Purwodadi juga merupakan desa yang mengalami kesulitan air. Guna memenuhi kebutuhan air untuk aktifitas sehari-hari serta pengairan, warga masih mengandalkan
sistem tadah hujan. Saat kemarau tiba dan persediaan air di bak penampungan mulai menipis, warga pun membeli air yang
diambil dari sumber mata air terdekat. Harga air yang harus dibeli warga tersebut berkisar 60.000 hingga 100.000 rupiah tiap 5000 liter. Harga air tersebut tergantung dari jauh/dekat jarak rumah pembeli dengan sumber mata air.
Kondisi tersebut jelas kurang menguntungkan bagi masyarakat. Meskipun akses jalan menuju Desa Purwodadi sudah sangat baik, namun berbagai problem sosial masih menjadi PR bagi pemerintah. Minimnya fasilitas pendidikan serta kemiskinan yang menimpa sebagian besar masyarakat membuat kasus putus sekolah di desa ini tinggi. Banyak anak muda yang memilih merantau ke kota selepas menamatkan pendidikan dasar mereka, meskipun hanya menjadi buruh serabutan atau pekerja rumah tangga. Selain itu, kasus pernikahan dini juga menjadi problem sosial di desa ini. Pernikahan usia dini ini merupakan dampak dari rendahnya pendidikan yang kemudian akan berdampak pada kesehatan masyarakat itu sendiri.
Lahan pertanian warga Purwodadi pada musim kemarau
Emile
Durkheim (1858-1917), pelopor ilmu Sosiologi dari Prancis, dalam bukunya Suicide et Natalite, Etude de Statistique
Morale menjelaskan bahwa distribusi bunuh diri di dalam negara-negara Eropa
Barat, memperlihatkan suatu pola hubungan yang erat antara angka–angka bunuh
diri dengan penggolongan berdasarkan agama (Giddens, 1986:103). Negara yang
kebanyakan penduduknya menganut agama Katholik memiliki angka bunuh diri yang
lebih rendah dibandingkan negara yang mayoritas penduduknya menganut agama
Protestan. Penjelasan dari pernyataan tersebut bukan pada dogma atau paham agama tersebut, tetapi lebih pada
perbedaan-perbedaan dalam organisasi sosial kedua agama tersebut. Agama
Katholik memiliki hirarki kependetaan yang kekuasaannya mengikat dalam dogma
ajaran agama. Berbeda dengan Protestan yang berdiri sendiri tanpa hirarki
kependetaan.
Penjelasan
tersebut membuktikan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara kasus
bunuh diri dengan organisasi sosial yang dimiliki suatu agama. Apabila dalam
organisasi sosial suatu agama terjadi pergolakan-pergolakan, hal ini akan
berpengaruh pada sikap dan mental pemeluknya. Implikasinya adalah pengutukan
pemeluk agama terhadap bunuh diri yang menurun. Sehingga, kasus bunuh diri pada
pemeluk agama yang taat pun bisa meningkat. Hal ini seperti yang dituliskan
Durkheim dalam bukunya, sudah dapat dipastikan bahwa meningkatnya secara
konsisten jumlah kejadian bunuh diri selalu mempunyai kaitan dengan terjadinya
pergolakan serius di dalam kondisi-kondisi organik suatu masyarakat (Giddens,
1986:102).
Dalam
pandangan masyarakat Jawa, hidup adalah keseluruhan yang teratur dan tersusun
yang harus diterima orang, dan terhadap keseluruhan itu orang harus
menyesuaikan dirinya (Mulder, 1999: 54). Oleh karena itu, orang harus hidup
selaras dengan tatanan yang ada dan mempunyai kewajiban untuk menghargai
tatanan hidup. Sehingga, perspektif Jawa menuturkan bahwa manusia harus
mengembangkan sikap hidup nrimo
(menerima) apa pun yang terjadi untuk mengembangkan kedamaian.
Perspektif
hidup nrimo ini juga tercermin pada
kepasrahan masyarakat Jawa dalam menerima kematian. Geertz (1989:99-100) bahkan
mengungkapkan bahwa kematian agaknya tidak menimbulkan ketakutan yang
berlebihan pada kebanyakan orang Jawa, dan orang berbicara tentang itu secara terang-terangan
tanpa menunjukkan kecemasan sedikit pun.
Di
Indonesia, angka kematian yang disebabkan oleh bunuh diri terbilang tinggi.
Pada tahun 2005, organisasi kesehatan dunia (WHO) memberikan data bahwa
sedikitnya 50.000 orang Indonsia bunuh diri setiap tahunnya (vivanews, 2 Desember 2009). Dari sekian
banyak kasus bunuh diri di Indonesia, peringkat tertinggi kasus bunuh diri
terdapat di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepanjang tahun
2010, Kepolisian Gunungkidul mencatat terdapat 28 kasus bunuh diri di
daerahnya. Dari sekian banyak kasus tersebut, umumnya korban memilih mengakhiri
hidupnya dengan gantung diri (Kedaulatan
Rakyat, 13 Desember 2010).
Darmaningtyas
(2002:416), berpendapat bahwa tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul tersebut
tidak terlepas dari kepasrahan orang Gunungkidul terhadap kematian, seperti
orang Jawa pada umumnya. Namun, dalam bukunya Darmaningtyas juga mengungkapkan
bahwa tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul disebabkan ketidakmampuan
masyarakat melepaskan diri dari kerentanan. Berdasar hasil studi kasus, pelaku
bunuh diri mayoritas berasal dari kelompok masyarakat yang rentan, baik dari
aspek ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, usia, serta letak geografis
(2002:448).
Ada
sebuah wacana menarik apabila kita menyoroti fenomena bunuh diri di
Gunungkidul. Yaitu, adanya mitos Pulung
Gantung. Pulung, secara harafiah
diartikan sebagai anugrah, wahyu. Secara singkatnya, pulung gantung dapat diartikan sebagai tindakan bunuh diri dengan
cara menggantung diri yang didekte oleh kekuatan alam (Wahono dalam Darmaningtyas, 2002:ix).
Salah
satu daerah di Gunungkidul dengan kasus bunuh diri tinggi adalah Kecamatan
Tepus. Selain itu, masyarakat pun masih mempercayai mitos pulung gantung. Pada bulan Maret hingga Desember 2010, terjadi lima
kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus (TribunJogja,
12 Januari 2011). Hal ini didukung dengan data Polres Gunungkidul sebagai fakta
masa lalu. Dalam kurun waktu dua tahun, yaitu 1999 dan 2000 terdapat 11 kasus
bunuh diri. Angka ini merupakan angka tertinggi.
Di
konteks yang lain, peran lembaga keagamaan dirasa belum maksimal. Memang benar
telah terjadi proses penyuluhan, baik yang dilakukan lembaga pemerintah, maupun
beberapa ulama, tetapi proses yag dilakukan masih bersifat normatif. Artinya,
belum melakukan proses kreatif berbasis pada pendekatan etnografis, sehingga peran
yang disampaikan belum tertransformasi secara maksimal. Di level inilah,
mestinya lembaga keagamaan ikut berpartisipasi secara maksimal. Mengingat,
persoalan pulung gantung lebih pada
persoalan spiritual masyarakat. Dalam hal ini, rekonseptualisasi dan restrukturisasi
lembaga keagamaan memiliki relevansinya. Kondisi ini tentu relevan dengan
pernyataan Hendropuspito bahwa katerlibatan organisasi sosial agama sangat
diperlukan mengingat salah satu fungsinya adalah membantu para pemimpin dalam
mengatasi masalah-masalah sosio-relegius yang tidak kalah beratnya dengan
masalah-masalah sosial non keagamaan (1990:11). [YL] Referensi:
Darmaningtyas.
2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi
Bunuh Diri di Gunung Kidul. Yogyakarta: Salwa Press.
Geertz,
Clifford. 1989. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Giddens,
Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori
Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber.
Jakarta: UI Press.
Hendropuspito,
Drs. D. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta:Kanisius.
Mulder,
Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan
Perubahan Budaya: Jawa, Muangthai dan Filipina. Jakarta: Gramedia.
Surat Kabar dan
Media Online
Kedaulatan
Rakyat, 13 Desember 2010
Tribun
Jogja, 12 Januari 2011
Vivanews,
2 Desember 2009
*Tulisan ini awalnya saya buat untuk menjadi latar belakang sebuah lomba proposal penilitian yang diadakan salah satu instansi pemerintah. Tapi, karena proposal itu gagal jadi tulisan ini saya posting di sini.. Sedikit melebar dari topik, memang. Tapi tak apalah, toh membicarakan Gunungkidul tak lengkap rasanya jika belum berbicara tentang fenomena Pulung Gantung.